Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

CS
● online
CS
● online
Halo, perkenalkan saya CS
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja
Kontak Kami
Member Area
Rp
Keranjang Belanja

Oops, keranjang belanja Anda kosong!

  • Diskon ❯ Semua buku didiskon mulai 10%
  • Asli ❯ Kami menjual buku asli, dari penerbit. Tidak menjual buku bajakan, repro, kw atau ilegal lainnya
  • Pengiriman ❯ Pengiriman ke seluruh Indonesia, pengiriman ke luar negeri sila WA kami
  • Pembayaran ❯ Transfer Bank, Dompet Elektronik (Link Aja, Dana, Go Pay, OVO)
  • Pengadaan ❯ Menerima pengadaan buku untuk perpustakaan
Beranda » Sosial Politik » Para Perancang Jihad
click image to preview activate zoom
Diskon
15%

Para Perancang Jihad

Rp 59.500 Rp 70.000
Hemat Rp 10.500
ISBN978-602-0809-34-2
Stok Tersedia
Kategori Sosial Politik
Tentukan pilihan yang tersedia!
Pemesanan lebih cepat! Pesan Langsung
Bagikan ke

Para Perancang Jihad

Penulis     : Diego Gambetta dan Steffen Hertog

Tebal         : xxvi + 292 hlm

Ukuran     : 14,5 × 21 cm

Penerbit   : Gading Publishing

Deskripsi :
Mengapa kalangan teknik dan sains banyak terlibat dalam gerakan Islam ekstrem?

Hampir satu dekade ini dunia diwarnai oleh aksi-aksi teror kaum jihadis Muslim. Aksi-aksi ini terentang dari Asia, Eropa hingga Amerika. Aksi bunuh diri untuk menyatakan ketidakpuasan dan protes, yang hampir seabad lalu dipakai kaum anarkis di Eropa, kini telah menjadi metode umum –tentu dengan berbagai cara—kaum jihadis.

Ada banyak kajian yang telah dilakukan untuk mempelajari memahami gejala ini. Salah satu temuan yang selalu berulang adalah keterlibatan kalangan terdidik, terutama dari kalangan jurusan teknik dan eksakta lainnya.  Umar Farouk Abdulmutallab, asal Nigeria yang gagal meledakkan pesawat jurusan Amsterdam – Detroit pada 2009 adalah sarjana teknik mesin dari University College London. Muhamed Game, seorang Libya,  yang meledakkan diri dengan dua kilogram nitrat di pintu masuk Caserma Santa Barbara, sebuah barak militer di Milan, pada 2009, adalah pemegang gelar sarjana elektronik. Seorang Jerman-Maroko, Bekkay Harrach, yang Ada banyak kajian yang telah dilakukan untuk mempelajari dan terkenal—juga di tahun 2009—atas rekaman video ancaman jihadnya kepada pemerintah Jerman, merupakan mahasiswa studi teknologi laser dan matematika. Azahari Husin, perancang bom Bali, adalah ahli teknik dengan gelar PhD dari Universitas Reading dan merupakan dosen di Universitas Teknik Malaysia. Lalu Mohammad Atta (berkebangsaan Mesir) dan Khalid Sheikh Mohammed (Kuwait), tokoh-tokoh utama peristiwa 9/11, keduanya belajar jurusan teknik: seorang di tata kota di Hamburg, dan satunya lagi di jurusan teknik mesin di Amerika Serikat. Demikian untuk menyebut beberapa.

Fakta ditemukan, tapi jawaban belum tentu. Mengapa mereka, yang semestinya memiliki penalaran dan cara berpikir rasional yang kuat melakukan pekerjaan yang ‘berlawanan dengan akal sehat?’ Meninggalkan keluarga, anak istri, dan kedudukan yang mentereng? Ada dugaan bahwa mereka putus asa, tidak memiliki pekerjaan dan menganggur. Tetapi bagaimana dengan Abdul Subhan Qureshi, pemimpin Gerakan Mahasiswa Islam di India, yang diburu di India karena sejumlah serangan, termasuk serangan pada kereta api di Mumbai pada 11 Juli 2006, adalah pemegang sejumlah proyek independen besar, termasuk intranet bagi Bharat Petro-Chemicals yang dijalankan oleh Wipro pada tahun 1999. Gajinya sangat tinggi, dan ini merupakan kedudukan yang diimpikan banyak anak muda. Pengebom celana dalam, Abdulmutallab, adalah anak termuda dari enam belas anak Alhaji Umaru Mutallab, mantan pemimpin First Bank of Nigeria dan bekas Komisioner Federal Nigeria untuk Pembangunan Ekonomi, serta hidup di apartemen mewah di Marylebone sambil mengejar gelar sarjana teknik di London.

Sejumlah akademisi telah menyebutkan hubungan antara Islam radikal dengan sains dan jurusan teknik  namun lebih sebagai kejanggalan daripada sesuatu yang bisa membantu untuk memahami fenomena tersebut. Sedikit dari mereka menduga-duga tentang apa yang bisa menjelaskannya,  namun tak satu pun yang berupaya untuk menemukan konfirmasi sistematis atas fenomena itu.

Diego Gambetta – Steffen Hertog, mencoba memahami fenomena ini dengan mengumpulkan daftar 497 anggota kelompok Islam radikal di dunia Islam yang aktif sejak 1970an. Daftar itu hampir semuanya laki-laki karena alasan sederhana bahwa mayoritas ekstremis adalah laki-laki. Mereka mengambil dari berbagai sumber, termasuk dalam literatur akademis, menanyai kolega, melacak melalui dokumen-dokumen pemerintah, dan mengunjungi website organisasi radikal itu sendiri. Kemudian mereka melakukan penelitian pada mengumpulkan data biografis tambahan di arsip berita berbagai bahasa yang berbeda, sumber online, dan dokumentasi resmi lain.  Mereka mencari data mengenai tingkat, tipe pendidikan, dan mengumpulkan informasi mengenai usia, latar belakang sosial ekonomi, mobilitas internasional, fungsi di dalam kelompok, dan informasi biografis kualitatif lainnya. Selain pengumpulan data tersebut, mereka juga melakukan survei harian terhadap koran-koran utama internasional dan Timur Tengah dari 2004 hingga awal 2010 untuk mendata, memastikan, dan meneliti nama-nama baru yang muncul.

Keduanya sangat ketat dalam menerapkan metode riset. Subjek yang mereka sebut sebagai ‘ekstrim radikal’ yang mereka teliti adalah yang sudah terkonfirmasi dengan ukuran. Pertama, telah meninggal atau tewas karena tindakan aksi bunuh diri maupun terbunuh dalam insiden penangkapan. Kedua, yang telah dihukum dengan keputusan pengadilan karena aksi-aksi teror, ancaman pembunuhan maupun pelanggaran hukum lainnya yang didasari oleh pandangan ekstrim yang mereka anut. Mereka yang baru ‘diduga’ tidak termasuk dalam data-data ini.

Salah satu kesimpulan yang mereka hasilkan adalah deprivasi relatif, yakni perasaan kecewa karena tingginya harapan dan rendahnya kenyataan yang didapat. Ini penjelasan mengapa banyak kalangan terdidik sains terlibat dalam aksi-aksi radikal dan ekstrim di Timur Tengah. Ketika negara-negara ini mengembangkan ‘developmentalisme’ muncul barisan muda yang bersekolah di jurusan sains, yang seperti menyambut janji-janji ‘developmentalisme’ itu. Tetapi kenyataannya, harapan itu tak terpenuhi dengan baik dan ‘developmentalisme’ lebih banyak melahirkan kesenjangan, kemiskinan dan pengangguran. Protes melalui gerakan Islam radikal akhirnya menjadi jalan keluar, pelarian, dan sebagainya. Tentu saja mereka menolak asumsi ini, karena menihilkan motif-motif keagamaan yang mereka pegangi.

Tetapi ini soal ilmu sosial dan perkara manusia. Bukan ilmu eksakta. Jawaban dan penjelasan tersebut tidak bisa menerangkan negara-negara Barat yang relatif makmur, juga banyak kalangan yang terdidik sains ini bergabung ke dalam gerakan Islam radikal? Kedua penulis terpaksa belok ke arah penjelasan lain, di antaranya misal pada adanya hubungan genetik antara watak pribadi, pilihan jurusan, lingkungan, dan lain-lain.

Salah satu yang menarik yang dilakukan kedua peneliti ini adalah membandingkan gerakan Islam radikal ekstrim kanan ini dengan gerakan radikal ekstrim kiri. Hasilnya cukup menarik, gerakan Islam radikal ekstrim kanan ini lebih banyak menyedot kalangan mahasiswa sains, sebaliknya gerakan radikal ekstrim kiri lebih memikat kalangan mahasiswa ilmu sosial dan humaniora.

Itu bukan berarti tak ada mahasiswa ilmu sosial dan humaniora yang tertarik pada gerakan Islam radikal ekstrim kanan ini, tetapi ketika keduanya membandingkan peluang pembelotan di antara kedua jurusan ini pada ideologi Islam radikal ini, hasilnya lagi-lagi menarik: para mahasiswa ilmu sosial dan humaniora lebih banyak yang keluar dan melakukan pembelotan dibanding mereka yang berasal dari kalangan sains.

Suatu bagian yang penting dari buku ini adalah mengenai pola pikir kaum ekstrimisme ini yang banyak berasal dari penjelasan psikologis. Kajian menyeluruh terhadap literatur, yang umumnya berfokus pada ciri-ciri kepribadian yang mendasari sikap sayap kanan dan konservatif, menemukan bahwa tampaknya ada tiga ciri yang paling relevan: ciri pertama, yang merupakan ciri emosional,   adalah kecenderungan untuk merasa jijik. Ciri ini menunjukkan adanya keyakinan pada ‘kemurnian’ dan ‘keaslian’ dan tidak ingin hal itu tercemari. Ciri selanjutnya, yang mengandung paling banyak aspek di antara ketiganya, terkait dengan “kebutuhan akan penyelesaian kognitif”. Ciri ini menunjukkan kecenderungan akan keteraturan, struktur, dan kepastian. Ciri yang ketiga, yang merupakan ciri kognitif dan emosional, adalah dorongan untuk menetapkan perbedaan yang jelas antara anggota in-group, dan out-group. Bukti menunjukkan bahwa mereka yang mendapatkan skor tinggi pada tiga ciri ini secara signifikan lebih mungkin memiliki sudut pandang sayap kanan dan konservatif.

Ketiga ciri di atas kemudian ditambahkan lagi dengan “simplisme”: yakni “penyederhanaan non-ambigu menjadi satu penyebab dan obat bagi fenomena multi faktor”. Kecenderungan untuk mencari penjelasan yang sederhana dan tidak membingungkan akan dunia sosial dan semua penyakitnya.

Tags: ,

Para Perancang Jihad

Berat 350 gram
Kondisi Baru
Dilihat 242 kali
Diskusi Belum ada komentar

Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.

Silakan tulis komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan kami publikasikan. Kolom bertanda bintang (*) wajib diisi.

*

*

Produk Terkait

Produk yang sangat tepat, pilihan bagus..!

Berhasil ditambahkan ke keranjang belanja
Lanjut Belanja
Periksa
Produk Quick Order

Pemesanan dapat langsung menghubungi kontak dibawah: